Powered By Blogger

Senin, 23 Januari 2012

IMLEK SUATU KETIKA....

Imlek suatu ketika.....
Perayaan Imlek ketika Orde Baru masih berjaya, tentu tak meriah seperti sekarang ini. Tahun 80-an imlek masih terselubung perayaannya. Hanya suatu ketika mbah Gus-Dur lah yang banyak berjasa dalam mengolkan perayaan Imlek yang meriah seperti sekarang ini. Kalau bukan Mbah Gus Dur tentu masyarakat Tionghoa belum tentu menikmati budaya leluhurnya yang penuh makna bagi mereka.


Meriahnya perhelatan imlek sekarang ini, ingatan saya terbang ke masa lalu. Memasuki lorong waktu di tahun 80-an. Saya ingat betul ketika itu, perayaan imlek sangatlah sederhana, bahkan terkesan tertutup. Kebetulan saya bertetangga dengan sahabat saya Lau Awat, Lau Kim Han, Kennedy, A Fit, Lau Mei Lih. Lau Mei Lan, Indra, dan terakhir teman dekat saya Chi Nah.


Kedekatan saya dengan mereka itulah sehingga saya tahu betul seluk beluk tentang budaya etnik Tionghoa disebuah pinggiran kota Kabupaten Tangerang, atau lebih ngetop dengan sebutan Chiben (China Benteng).
Saat mbah Gus Dur mengusung plularisme, kami jauh-jauh hari sudah melakukan konsep itu bukan pada tataran wacana ataupun teori. Kami hudup berdampingan saling berbagi, saling mengormati, saling tolong menolong. Konsep Al Quran "Lakum dinnukum waliyadin" betul-betul kami lakukan, tanpa ikut-ikutan keyakinan, dan paksaan dalam keyakinan. Tapi kami hidup rukun berdampingan.


Bahkan suatu ketika ada acara perayaan keagamaan Tionghoa, kami sering diundang makan. Bahkan mereka sebelumnya mengumumkan kepada warga muslim bahwa makanan mereka berlebel halal. Tidak ada makanan babi atau sejenisnya. Mereka membeli daging babi, tapi hanya untuk kebutuhan 'sembahyang' ke leluhur nenek moyang mereka. Bahkan tak sedikit kue khas imlek 'kue keranjang' dibagikan kepada warga muslim. Begitulah toleransi kami dalam beragama, tanpa diembeli 'perpindahan' keyakinan. Biarlah urusan keyakinan itu urusan pribadi dengan Tuhan nya. 


Budaya Tionghoa di Tangerang memang unik, seperti Cokek. Cokek adalah asli budaya etnis Tionghoa kabupaten Tangerang. Iramanya yang khas dengan rebab, gambang kromong, plus kecrek dan kadang gitar moderenpun dimainkan. Ada sepasang wanita dan laki-laki yang mengiringi irama cokek, uniknya dalam pemilihan pasangan, terlebih dahulu kita mengambil selendang, yang warnanya sesuai digunakan dipinggang pasangan wanita. Kemudian si pasangan wanita baru menghampiri si laki-laki yang memilihnya.


Dari sekian banyak sahabat saya yang nota bene Tionghoa, ada beberapa orang kabarnya sudah memeluk agama Islam. Diantaranya menurut kabar, Indra dan Lau Kim Han. Dua orang ini sebelum muslim, mereka adalah sahabat saya akrab ketika Sekolah Dasar. Kami sering berdiskusi khas anak-anak tentang keyakinan kami masing-masing. Bahkan kami ini siswa yang terkenal 'bandel' dan 'urakan'.Tak menyangka setelah kami dewasa, rata-rata umur kami 40-an, berawal dari perbincangan dulu ketika SD yang ringan itu, akan membekas dihati sahabat saya itu. Pada akhirnya tetntu hidayah Allah lah yang memberi petunjuk kepada sahabat saya itu, untuk memeluk agama yang diridhoi oleh Allah SWT.


Kami sudah berpisah puluhan tahun, saya sangat kangen dengan sahabat-sahabat saya itu, lebih-lebih dua orang yang menjadi saudara muslim saya itu Indra dan Lau Kim Han. Kapan kita akan bertemu lagi?, untuk berdiskusi, bercanda ria, mengenang memori yang manis ketika di SD. Kabar terakhir, Indra tinggal di Bekasi, dan Lau Kim Han tinggal di Daerah Pandeglang. Semoga kita bisa bertemu kembali.


Bagi saya Imlek, bukan hanya sekedar perayaan bagi yang meyakininya. Tapi mengusung pesan plularisme, kebersamaan, saling menghormati, tolong menolong, saling menghargai, kekayaan budaya asli indonesia, dan tentu persahabatan yang tidak dikotori 'saling mempengaruhi' keyakinan. Konsep Al Quran "Lakum dinukum waliyadin" betul-betul membumi pada relung jiwa kami.


Pemandangan kisah kami ini tentu langka di zaman saat ini. Langkanya nilai-nilai manusiawi. Jangankan berlainan keyakinan, satu keyakinanpun terjadi perselisihan faham. Pembantaian etnik, pembunuhan antar ormas, saling klaim keyakinan, permusuhan, fitnah, saling hasut, tak ada toleransi, pembakaran rumah ibadah, baik sesama muslim ataupun rumah ibadah agama lain. 
Ada apa dengan manusia-manusia sekarang...?


SERANG, 23 Januari 2012, ketika imlek tiba, ketika saya teringat sahabat saya yang Tionghoa, ketika kami mengusung Plularisme, ketika itu kami tidak tahu apa arti plularisme?. Tapi kami membumikan plularsime itu tanpa penataran atau ceramah. Kami lakukan dengan fitrah manusia. Agama itu sendiri adalah fitrah. Ketika saya kangen pada tahun 80-an, yang lugu penuh persahabatan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar