Powered By Blogger

Minggu, 29 Januari 2012

BIOGRAFY IMAM NAWAWI


Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (1): Guru Para Ulama Indonesia

du… Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning Indonesia. Sebut misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama Syekh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya. Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat, 1813 ini layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Syekh Nawawi sejak kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci. Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885 menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis. Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang. Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT. Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain jugaijma’ dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid(mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini. Apapun, umat Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi Al-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya. Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 M. Bersambung ke bagian 2

SYEIKH NAWAWI AL BANTANI ( Digelar Imam Nawawi Kedua )

SYEIKH NAWAWI AL BANTANI ( Digelar Imam Nawawi Kedua )

NAMA Imam Nawawi tidak asing lagi bagi dunia Islam terutama dalam lingkungan ulama-ulama Syafi'iyah. Ulama ini sangat terkenal kerana banyak karangannya yang dikaji pada setiap zaman dari dahulu sampai sekarang. Pada penghujung abad ke-18 lahir pula seorang yang bernama Nawawi di Banten, Jawa Barat. Setelah dia menuntut ilmu yang sangat banyak, mensyarah kitab-kitab bahasa Arab dalam pelbagai disiplin ilmu yang sangat banyak pula, maka dia digelar Imam Nawawi ats-Tsani, ertinya Imam Nawawi Yang Kedua. Orang pertama memberi gelaran demikian ialah Syeikh Wan Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani.

Gelaran yang diungkapkan oleh Syeikh Ahmad al-Fathani dalam seuntai gubahan syairnya itu akhirnya diikuti oleh semua orang yang menulis riwayat ulama yang berasal dari Banten itu. Sekian banyak ulama dunia Islam sejak sesudah Imam Nawawi yang pertama (wafat 676 Hijrah/1277 Masehi) sampai sekarang ini belum ada orang lain yang mendapat gelaran Imam Nawawi ats-Tsani, kecuali Syeikh Nawawi, ulama kelahiran Banten yang dibicarakan ini. Rasanya gelaran demikian memang dipandang layak, tidak ada ulama sezaman dengannya mahupun sesudahnya yang mempertikai autoritinya dalam bidang ilmiah keislaman menurut metode tradisional yang telah wujud zaman berzaman dan berkesinambungan.


Sungguhpun Syeikh Nawawi ats-Tsani al-Bantani diakui alim dalam semua bidang ilmu keislaman, namun dalam dunia at-thariqah ash-shufiyah, gurunya Syeikh Ahmad Khathib Sambas tidak melantik beliau sebagai seorang mursyid Thariqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, tetapi yang dilantik ialah Syeikh Abdul Karim al-Bantani, iaitu ayah saudara kepada Syeikh Nawawi al-Bantani, yang sama-sama menerima thariqat itu kepada Syeikh Ahmad Khathib Sambas. Apakah sebabnya terjadi demikian hanya diketahui oleh Syeikh Ahmad Khathib Sambas dan Syeikh Nawawi al-Bantani. Syeikh Nawawi al-Bantani mematuhi peraturan yang diberikan itu, sehingga beliau tidak pernah mentawajuh/membai'ah seseorang muridnya walaupun memang ramai murid beliau yang menjadi ulama besar yang berminat dalam bidang keshufian.

LAHIR DAN PENDIDIKAN
Nama lengkapnya adalah Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar ibnu Arabi bin Ali al-Jawi al-Bantani. Beliau adalah anak sulung seorang ulama Banten, Jawa Barat, lahir pada tahun 1230 Hijrah/1814 Masehi di Banten dan wafat di Mekah tahun 1314 Hijrah/1897 Masehi. Ketika kecil, beliau sempat belajar kepada ayahnya sendiri, dan di Mekah belajar kepada beberapa ulama terkenal pada zaman itu, di antara mereka yang dapat dicatat adalah sebagai berikut: Syeikh Ahmad an-Nahrawi, Syeikh Ahmad ad-Dumyati, Syeikh Muhammad Khathib Duma al-Hanbali, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki, Syeikh Zainuddin Aceh, Syeikh Ahmad Khathib Sambas, Syeikh Syihabuddin, Syeikh Abdul Ghani Bima, Syeikh Abdul Hamid Daghastani, Syeikh Yusuf Sunbulawani, Syeikhah Fatimah binti Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Yusuf bin Arsyad al-Banjari, Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani, Syeikh Mahmud Kinan al-Falimbani, Syeikh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani. Demikian saja para gurunya yang dapat dicatat daripada berbagai-bagai sumber, dan berkemungkinan banyak yang belum dapat dicatat di sini.

Dipercayai beliau datang ke Mekah dalam usia 15 tahun dan selanjutnya setelah menerima pelbagai ilmu di Mekah, beliau meneruskan pelajarannya ke Syam (Syiria) dan Mesir. Setelah keluar dari Mekah kerana menuntut ilmu yang tidak diketahui berapa lamanya, lalu beliau kembali lagi ke Mekah. Keseluruhan masa beliau tinggal di Mekah dari mulai belajar, mengajar dan mengarang hingga sampai kemuncak kemasyhurannya lebih dari setengah abad lamanya. Diriwayatkan bahawa setiap kali beliau mengajar di Masjidil Haram sentiasa dikelilingi oleh pelajar yang tidak kurang daripada dua ratus orang. Kerana sangat terkenalnya beliau pernah diundang ke Universiti al-Azhar, Mesir untuk memberi ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara yang tertentu.

Belum jelas tahun berapa beliau diundang oleh ahli akademik di Universiti al-Azhar itu, namun difahamkan bahawa beliau sempat bertemu dengan seorang ulama terkenal di al-Azhar (ketika itu sebagai Syeikhul Azhar), iaitu Syeikh Ibrahim al-Baijuri (wafat 1860 Masehi) yang sangat tua dan lumpuh kerana tuanya. Kemungkinan Syeikh Ibrahim al-Baijuri, Syeikhul Azhar yang terkenal itu termasuk salah seorang di antara guru kepada Syeikh Nawawi al-Bantani.

MURID MURID
Diriwayatkan bahawa Syeikh Nawawi al-Bantani mengajar di Masjidil Haram menggunakan bahasa Jawa dan Sunda ketika memberi keterangan terjemahan kitab-kitab bahasa Arab. Barangkali ulama Banten yang terkenal itu kurang menguasai bahasa Melayu yang lebih umum dan luas digunakan pada zaman itu. Oleh sebab kurang menguasai bahasa Melayu, maka tidak berapa ramai muridnya yang berasal dari luar pulau Jawa (seperti Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu dan Patani). Tetapi Tok Kelaba al-Fathani menyebut bahawa beliau menerima satu amalan wirid daripada Syeikh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani, dan Syeikh Abdul Qadir itu menerimanya daripada Syeikh Nawawi al-Bantani. Syeikh Abdul Qadir al-Fathani (Tok Bendang Daya II) sebenarnya bukan peringkat murid kepada Syeikh Nawawi al-Bantani tetapi adalah peringkat sahabatnya. Syeikh Nawawi al-Bantani (1230 Hijrah/1814 Masehi) lebih tua sekitar empat tahun saja daripada Syeikh Abdul Qadir al-Fathani (Tok Bendang Daya II, 1234 Hijrah/1817 Masehi). Adapun murid Syeikh Nawawi al-Bantani di pulau Jawa yang menjadi ulama yang terkenal sangat ramai, di antara mereka ialah, Kiyai Haji Hasyim Asy'ari, Pengasas Pondok Pesantren Tebuireng, Jawa Timur, bahkan beliau ini dianggap sebagai bapa ulama Jawa dan termasuk pengasas Nahdhatul Ulama. Murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang terkenal pula ialah Kiyai Haji Raden Asnawi di Kudus, Jawa Tengah, Kiyai Haji Tubagus Muhammad Asnawi di Caringin, Purwokerto, Jawa Barat, Syeikh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi, Syeikh Abdus Satar bin Abdul Wahhab as-Shidqi al-Makki, Sayid Ali bin Ali al-Habsyi al-Madani dan ramai lagi.

Kyai Kholil Bangkalan, Madura
 

Syech Tubagus Ahmad Bakri, Purwakarta


K.H. Hasyim Asy’ari

Salah seorang cucunya, yang juga mendapat pendidikan sepenuhnya daripada beliau ialah Syeikh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Jawi al-Bantani (1285 Hijrah/1868 Masehi - 1324 Hijrah/1906 Masehi). Pada halaman pertama Al-Aqwalul Mulhaqat, Syeikh Abdul Haq al-Bantani menyebut bahawa Syeikh Nawawi al-Bantani adalah orang tuanya (Syeikhnya), orang yang memberi petunjuk dan pembimbingnya. Pada bahagian kulit kitab pula beliau menulis bahawa beliau adalah `sibthun' (cucu) an-Nawawi Tsani. Selain orang-orang yang tersebut di atas, sangat ramai murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang memimpin secara langsung barisan jihad di Cilegon melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 Masehi. Di antara mereka yang dianggap sebagai pemimpin pemberontak Celegon ialah: Haji Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Semua mereka adalah murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang dikaderkan di Mekah.


KARYA KARYA

Berapa banyakkah karya Syeikh Nawawi ats-Tsani al-Bantani yang sebenarnya belum diketahui dengan pasti. Barangkali masih banyak yang belum masuk dalam senarai yang ditulis oleh penulis-penulis sebelum ini. Saya telah memiliki karya ulama Banten ini sebanyak 30 judul. Judul yang telah saya masukkan dalam buku berjudul Katalog Besar Persuratan Melayu, sebanyak 44 judul. Semua karya Syeikh Nawawi al-Bantani ditulis dalam bahasa Arab dan merupakan syarahan daripada karya orang lain. Belum ditemui walau sebuah pun karyanya yang diciptakan sendiri. Juga belum ditemui karyanya dalam bahasa Melayu, Jawa ataupun Sunda. Oleh sebab kekurangan ruangan di antara 44 judul di bawah ini saya catat sekadarnya saja, ialah:

1. Targhibul Musytaqin, selesai Jumaat, 13 Jamadilakhir 1284 Hijrah/1867 Masehi. Cetakan awal Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 Hijrah.

2. Fat-hus Shamadil `Alim, selesai awal Jamadilawal 1286 Hijrah/1869 Masehi. Dicetak oleh Mathba'ah Daril Kutubil Arabiyah al-Kubra, Mesir 1328 Hijrah.

3. Syarah Miraqil `Ubudiyah, selesai 13 Zulkaedah 1289 Hijrah/1872 Masehi. Cetakan pertama Mathba'ah al-Azhariyah al-Mashriyah, Mesir 1308 Hijrah.

4. Madarijus Su'ud ila Iktisa'il Burud, mulai menulis 18 Rabiulawal 1293 Hijrah/1876 Masehi. Dicetak oleh Mathba'ah Mustafa al-Baby al-Halaby, Mesir, akhir Zulkaedah 1327 Hijrah.

5. Hidayatul Azkiya' ila Thariqil Auliya', mulai menulis 22 Rabiulakhir 1293 Hijrah/1876 Masehi, selesai 13 Jamadilakhir 1293 Hijrah/1876 Masehi. Diterbitkan oleh Mathba'ah Ahmad bin Sa'ad bin Nabhan, Surabaya, tanpa menyebut tahun penerbitan.

6. Fat-hul Majid fi Syarhi Durril Farid, selesai 7 Ramadan 1294 Hijrah/1877 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1304 Hijrah.

7. Bughyatul `Awam fi Syarhi Maulidi Saiyidil Anam, selesai 17 Safar 1294 Hijrah/1877 Masehi. Dicetak oleh Mathba'ah al-Jadidah al-'Amirah, Mesir, 1297 Hijrah.

8. Syarah Tijanud Darari, selesai 7 Rabiulawal 1297 Hijrah/1879 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba'ah `Abdul Hamid Ahmad Hanafi, Mesir, 1369 Masehi.

9. Syarah Mishbahu Zhulmi `alan Nahjil Atammi, selesai Jamadilawal 1305 Hijrah/1887 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1314 Hijrah atas biaya saudara kandung pengarang, iaitu Syeikh Abdullah al-Bantani.

10. Nasha-ihul `Ibad, selesai 21 Safar 1311 Hijrah/1893 Masehi. Cetakan kedua oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1323 Hijrah.

11. Al-Futuhatul Madaniyah fisy Syu'bil Imaniyah, tanpa tarikh. Dicetak di bahagian tepi kitab nombor 10, oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1323 Hijrah.

12. Hilyatus Shibyan Syarhu Fat-hir Rahman fi Tajwidil Quran, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah al-Miriyah, Mekah, 1332 Hijrah.

13. Qatrul Ghaits fi Syarhi Masaili Abil Laits, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah al-Miriyah, Mekah, 1321 Hijrah.

14. Mirqatu Su'udi Tashdiq Syarhu Sulamit Taufiq, tanpa tarikh. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Miriyah, Mekah 1304 Hijrah.

15. Ats-Tsimarul Yani'ah fir Riyadhil Badi'ah, tanpa tarikh. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Bahiyah, Mesir, Syaaban 1299 Hijrah. Dicetak juga oleh Mathba'ah Mustafa al-Baby al-Halaby, Mesir, 1342 Hijrah.

16. Tanqihul Qaulil Hatsits fi Syarhi Lubabil Hadits, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, Mesir, tanpa tarikh.

17.Bahjatul Wasail bi Syarhi Masail, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah al-Haramain, Singapura-Jeddah, tanpa tarikh.

18. Fat-hul Mujib Syarhu Manasik al- 'Allamah al-Khatib, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah at-Taraqqil Majidiyah, Mekah, 1328 Hijrah.

19. Nihayatuz Zain Irsyadil Mubtadi-in, tanpa tarikh. Diterbitkan oleh Syarikat al-Ma'arif, Bandung, Indonesia, tanpa tarikh.

20. Al-Fushushul Yaqutiyah `alar Raudhatil Bahiyah fi Abwabit Tashrifiyah, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah al-Bahiyah, Mesir, awal Syaaban 1299 Hijrah.


Penyumbang Ilmu Fiqh

Syekh Nawawi termasuk ulama tradisional besar yang telah memberikan sumbangan sangat penting bagi perkembangan ilmu fiqh di Indonesia. Mereka memperkenalkan dan menjelaskan, melalui syarah yang mereka tulis, berbagai karya fiqh penting dan mereka mendidik generasi ulama yang menguasai dan memberikan perhatian kepada fiqh.

Ia menulis kitab fiqh yang digunakan secara luas, Nihayat al-Zain. Kitab ini merupakan syarah kitab Qurrat al-‘Ain, yang ditulis oleh ulama India Selatan abad ke-16, Zain ad-Din al-Malibari (w. 975 M). ulama India ini adalah murid Ibnu Hajar al-haitami (wafat 973 M), penulis Tuhfah al-Muhtaj, tetapi Qurrat dan syarah yag belakangan ditulis al-Malibari sendiri tidak didasarkan pada Tuhfah.

Qurrat al-‘Ain belakangan dikomentari dan ditulis kembali oleh pengarangnya sendiri menjadi Fath al-Muin. Dua orang yang sezaman dengan Syekh Nawawi Banten di Makkah tapi lebih muda usianya menulis hasyiyah (catatan) atas Fath al-Mu’in. Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha al-Dimyathi menulis empat jilid I’aanah at-Thalibbin yang berisikan catatan pengarang dan sejumlah fatwa mufti Syafi’i di Makkah saat itu, Ahmad bin Zaini Dahlan. Inilah kitab yang popular sebagai rujukan utama.

Syekh Nawawi Banten juga menulis dalam bahasa Arab Kasyifah as-Saja’, syarah atas dua karya lain yang juga penting dalam ilmu fiqh. Yang satu teks pengantar Sullamu at-Taufiq yang ditulis oleh ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi (wafat 1272 H/ 1855 M). yang lain ialah Safinah an-Najah ditulis oleh Salim bin Abdullah bin Samir, ulama Hadrami yang tinggal di Batavia (kini: Jakarta) pada pertengahan abad ke-19.

Kitab daras (text book) ar-Riyadh al Badi’ah fi Ushul ad-Din wa Ba’dh Furu’ asy-Syari’ah yang membahas butir pilihan ajaran dan kewajiban agama diperkenalkan oleh Kyai Nawawi Banten pada kaum muslimin Indonesia. Tak banyak diketahui tentang pengarangnya, Muhammad Hasbullah. Barangkali ia sezaman dengan atau sedikit lebih tua dari Syekh Nawawi banten. Ia terutama dikenal karena syarah Nawawi, Tsamar al-Yani’ah. Karyanya hanya dicetak di pinggirnya.

Sullam al-Munajat merupakan syarah Nawawi atas pedoman ibadah Safinah ash-Shalah karangan Abdullah bin ‘Umar al-Hadrami, sedangkan Tausyih Ibn Qasim merupakan komentarnya atas Fath al-Qarib. Walau bagaimanapun, masih banyak yang belum kita ketahui tentang Syekh Nawawi Banten. (ditulis oleh Martin Muntadhim S.M.)

Nasionalisme

Tiga tahun bermukim di Mekah, beliau pulang ke Banten. Sampai di tanah air beliau menyaksikan praktek-praktek ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan dari Pemerintah Hindia Belanda. Ia melihat itu semua lantaran kebodohan yang masih menyelimuti umat. Tak ayal, gelora jihadpun berkobar. Beliau keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Tentu saja Pemerintah Belanda membatasi gara-geriknya. Beliau dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan belakangan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu memang sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825- 1830 M).

Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, apa boleh buat Syaikh Nawawi terpaksa menyingkir ke Negeri Mekah, tepat ketika perlawanan Pangeran Diponegoro padam pada tahun 1830 M. Ulama Besar ini di masa mudanya juga menularkan semangat Nasionalisme dan Patriotisme di kalangan Rakyat Indonesia. Begitulah pengakuan Snouck Hourgronje. Begitu sampai di Mekah beliau segera kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya. Beliau tekun belajar selama 30 tahun, sejak tahun 1830 hingga 1860 M. Ketika itu memang beliau berketepatan hati untuk mukim di tanah suci, satu dan lain hal untuk menghindari tekanan kaum penjajah Belanda. Nama beliau mulai masyhur ketika menetap di Syi'ib ‘Ali, Mekah. Beliau mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan, tapi makin lama makin jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Maka jadilah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.

Nama beliau semakin melejit ketika beliau ditunjuk sebagai pengganti Imam Masjidil Haram, Syaikh Khâtib al-Minagkabawi. Sejak itulah beliau dikenal dengan nama resmi ‘Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.’ Artinya Nawawi dari Banten, Jawa. Piawai dalam ilmu agama, masyhur sebagai ulama. Tidak hanya di kota Mekah dan Medinah saja beliau dikenal, bahkan di negeri Mesir nama beliau masyhur di sana. Itulah sebabnya ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Mesir negara yang pertama-tama mendukung atas kemerdekaan Indonesia.

Syaikh Nawawi masih tetap mengobarkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan para muridnya yang biasa berkumpul di perkampungan Jawa di Mekah. Di sanalah beliau menyampaikan perlawanannya lewat pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini tentu saja membuat pemerintah Hindia Belanda berang. Tak ayal, Belandapun mengutus Snouck Hourgronje ke Mekah untuk menemui beliau.

Ketika Snouck–yang kala itu menyamar sebagai orang Arab dengan nama ‘Abdul Ghafûr-bertanya:

“Mengapa beliau tidak mengajar di Masjidil Haram tapi di perkampungan Jawa?”.

Dengan lembut Syaikh Nawawi menjawab:

“Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang professor berbangsa Arab”.

Lalu kata Snouck lagi:

”Bukankah banyak orang yang tidak sepakar seperti anda akan tetapi juga mengajar di sana?”.

Syaikh Nawawi menjawab :

“Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa".

Dari beberapa pertemuan dengan Syaikh Nawawi, Orientalis Belanda itu mengambil beberapa kesimpulan. Menurutnya, Syaikh Nawawi adalah Ulama yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi kepentingan agama dan bangsa. Banyak murid-muridnya yang di belakang hari menjadi ulama, misalnya K.H. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdhatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tb. Bakrie Purwakarta, K.H. Arsyad Thawil, dan lain-lainnya.

Konon, K.H. Hasyim Asy’ari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng sering menangis jika membaca kitab fiqih Fath al-Qarîb yang dikarang oleh Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap gurunya itu amat mendalam di hati K.H. Hasyim Asy’ari hingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath al-Qarib ia ajarkan pada santri-santrinya.

Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Banten dan dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam, Rubi’ah. Sang istri wafat mendahului beliau.

Gelar-Gelar
Berkat kepakarannya, beliau mendapat bermacam-macam gelar. Di antaranya yang diberikan oleh Snouck Hourgronje, yang menggelarinya sebagai Doktor Ketuhanan. Kalangan Intelektual masa itu juga menggelarinya sebagai al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang luar biasa sebagaia al-Sayyid al-‘Ulama al-Hijâz (Tokoh Ulama Hijaz). Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang sekarang ini disebut Saudi Arabia. Sementara para Ulama Indonesia menggelarinya sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.

Karamah
Konon, pada suatu waktu pernah beliau mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk beliau sebagai lampu, saat itu dalam sebuah perjalanan. Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf yakni rumah-rumahan di punggung unta, yang beliau diami, sementara aspirasi tengah kencang mengisi kepalanya. Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu menerangi jari kanannya yang untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar beliau dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri beliau itu membawa bekas yang tidak hilang. Karamah beliau yang lain juga diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan. Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw Habib Utsmân bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi, Ulama dan Mufti Betawi (sekarang ibukota Jakarta), itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsmân sendiri.

Tak ayal , saat seorang anak remaja yang tak dikenalnya menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsmân. Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsmân tetap berpendirian kiblat Mesjid Pekojan sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat mesti dibetulkan. Saat kesepakatan tak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syaikh Nawawi remaja menarik lengan baju lengan Sayyid Utsmân. Dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat.

“Lihatlah Sayyid!, itulah Ka?bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka?bah itu terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak kekiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke Ka?bah". Ujar Syaikh Nawawi remaja.    

Sayyid Utsmân termangu. Ka?bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi remaja memang terlihat jelas. Sayyid Utsmân merasa takjub dan menyadari , remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karamah itu, di manapun beliau berada Ka?bah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid Utsmân langsung memeluk tubuh kecil beliau. Sampai saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya.

Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.

Terang saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma?la, Mekah.

Demikianlah karamah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Tanah organisme yang hidup di dalamnya sedikitpun tidak merusak jasad beliau. Kasih sayang Allah Ta’ala berlimpah pada beliau. Karamah Syaikh Nawawi yang paling tinggi akan kita rasakan saat kita membuka lembar demi lembar Tafsîr Munîr yang beliau karang. Kitab Tafsir fenomenal ini menerangi jalan siapa saja yang ingin memahami Firman Allah swt. Begitu juga dari kalimat-kalimat lugas kitab fiqih, Kâsyifah al-Sajâ, yang menerangkan syariat. Begitu pula ratusan hikmah di dalam kitab Nashâih al-‘Ibâd. Serta ratusan kitab lainnya yang akan terus menyirami umat dengan cahaya abadi dari buah tangan beliau.

Wafat

Masa selama 69 tahun mengabdikan dirinya sebagai guru Umat Islam telah memberikan pandangan-pandangan cemerlang atas berbagai masalah umat Islam. Syaikh Nawawi wafat di Mekah pada tanggal 25 syawal 1314 H/ 1897 M. Tapi ada pula yang mencatat tahun wafatnya pada tahun 1316 H/ 1899 M. Makamnya terletak di pekuburan Ma'la di Mekah. Makam beliau bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar al-Siddiq, Asma? binti Abû Bakar al-Siddîq.


Senin, 23 Januari 2012

IMLEK SUATU KETIKA....

Imlek suatu ketika.....
Perayaan Imlek ketika Orde Baru masih berjaya, tentu tak meriah seperti sekarang ini. Tahun 80-an imlek masih terselubung perayaannya. Hanya suatu ketika mbah Gus-Dur lah yang banyak berjasa dalam mengolkan perayaan Imlek yang meriah seperti sekarang ini. Kalau bukan Mbah Gus Dur tentu masyarakat Tionghoa belum tentu menikmati budaya leluhurnya yang penuh makna bagi mereka.


Meriahnya perhelatan imlek sekarang ini, ingatan saya terbang ke masa lalu. Memasuki lorong waktu di tahun 80-an. Saya ingat betul ketika itu, perayaan imlek sangatlah sederhana, bahkan terkesan tertutup. Kebetulan saya bertetangga dengan sahabat saya Lau Awat, Lau Kim Han, Kennedy, A Fit, Lau Mei Lih. Lau Mei Lan, Indra, dan terakhir teman dekat saya Chi Nah.


Kedekatan saya dengan mereka itulah sehingga saya tahu betul seluk beluk tentang budaya etnik Tionghoa disebuah pinggiran kota Kabupaten Tangerang, atau lebih ngetop dengan sebutan Chiben (China Benteng).
Saat mbah Gus Dur mengusung plularisme, kami jauh-jauh hari sudah melakukan konsep itu bukan pada tataran wacana ataupun teori. Kami hudup berdampingan saling berbagi, saling mengormati, saling tolong menolong. Konsep Al Quran "Lakum dinnukum waliyadin" betul-betul kami lakukan, tanpa ikut-ikutan keyakinan, dan paksaan dalam keyakinan. Tapi kami hidup rukun berdampingan.


Bahkan suatu ketika ada acara perayaan keagamaan Tionghoa, kami sering diundang makan. Bahkan mereka sebelumnya mengumumkan kepada warga muslim bahwa makanan mereka berlebel halal. Tidak ada makanan babi atau sejenisnya. Mereka membeli daging babi, tapi hanya untuk kebutuhan 'sembahyang' ke leluhur nenek moyang mereka. Bahkan tak sedikit kue khas imlek 'kue keranjang' dibagikan kepada warga muslim. Begitulah toleransi kami dalam beragama, tanpa diembeli 'perpindahan' keyakinan. Biarlah urusan keyakinan itu urusan pribadi dengan Tuhan nya. 


Budaya Tionghoa di Tangerang memang unik, seperti Cokek. Cokek adalah asli budaya etnis Tionghoa kabupaten Tangerang. Iramanya yang khas dengan rebab, gambang kromong, plus kecrek dan kadang gitar moderenpun dimainkan. Ada sepasang wanita dan laki-laki yang mengiringi irama cokek, uniknya dalam pemilihan pasangan, terlebih dahulu kita mengambil selendang, yang warnanya sesuai digunakan dipinggang pasangan wanita. Kemudian si pasangan wanita baru menghampiri si laki-laki yang memilihnya.


Dari sekian banyak sahabat saya yang nota bene Tionghoa, ada beberapa orang kabarnya sudah memeluk agama Islam. Diantaranya menurut kabar, Indra dan Lau Kim Han. Dua orang ini sebelum muslim, mereka adalah sahabat saya akrab ketika Sekolah Dasar. Kami sering berdiskusi khas anak-anak tentang keyakinan kami masing-masing. Bahkan kami ini siswa yang terkenal 'bandel' dan 'urakan'.Tak menyangka setelah kami dewasa, rata-rata umur kami 40-an, berawal dari perbincangan dulu ketika SD yang ringan itu, akan membekas dihati sahabat saya itu. Pada akhirnya tetntu hidayah Allah lah yang memberi petunjuk kepada sahabat saya itu, untuk memeluk agama yang diridhoi oleh Allah SWT.


Kami sudah berpisah puluhan tahun, saya sangat kangen dengan sahabat-sahabat saya itu, lebih-lebih dua orang yang menjadi saudara muslim saya itu Indra dan Lau Kim Han. Kapan kita akan bertemu lagi?, untuk berdiskusi, bercanda ria, mengenang memori yang manis ketika di SD. Kabar terakhir, Indra tinggal di Bekasi, dan Lau Kim Han tinggal di Daerah Pandeglang. Semoga kita bisa bertemu kembali.


Bagi saya Imlek, bukan hanya sekedar perayaan bagi yang meyakininya. Tapi mengusung pesan plularisme, kebersamaan, saling menghormati, tolong menolong, saling menghargai, kekayaan budaya asli indonesia, dan tentu persahabatan yang tidak dikotori 'saling mempengaruhi' keyakinan. Konsep Al Quran "Lakum dinukum waliyadin" betul-betul membumi pada relung jiwa kami.


Pemandangan kisah kami ini tentu langka di zaman saat ini. Langkanya nilai-nilai manusiawi. Jangankan berlainan keyakinan, satu keyakinanpun terjadi perselisihan faham. Pembantaian etnik, pembunuhan antar ormas, saling klaim keyakinan, permusuhan, fitnah, saling hasut, tak ada toleransi, pembakaran rumah ibadah, baik sesama muslim ataupun rumah ibadah agama lain. 
Ada apa dengan manusia-manusia sekarang...?


SERANG, 23 Januari 2012, ketika imlek tiba, ketika saya teringat sahabat saya yang Tionghoa, ketika kami mengusung Plularisme, ketika itu kami tidak tahu apa arti plularisme?. Tapi kami membumikan plularsime itu tanpa penataran atau ceramah. Kami lakukan dengan fitrah manusia. Agama itu sendiri adalah fitrah. Ketika saya kangen pada tahun 80-an, yang lugu penuh persahabatan.





Selasa, 10 Januari 2012

BERSYUKURLAH, BERSABARLAH ATAU TAKUTLAH

Hari ini temen2 kita dilantik, ada yang promosi. Ada juga yang pindah posisi. Kepada teman2 yang promosi sy ucapkan selamat. Kepada rekan2, yang memang belum dilantik utk promosi, bersabarlah atau takutlah (tergantung pilihan mu). Jabatan itu amanah. Amanah itu harus dipertanggungjawabkan. Kenapa kita harus terburu-buru dan menginginkan sesuatu yang harus diminta pertanggungjawaban ?, baik dunia terlebih-lebih akhirat kelak. Jangan kecewa kawan, apabila belum promosi (bila qolbu anda masih menginginkan jabatan itu). Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatunya, sedangkan kita tidak. Berdo'alah semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kita, keluarga, dan masyarakat. Kasih sayang Allah itu jauh lebih besar, daripada kasih sayang seorang ibu yang penyayang kepada anaknya. (serang, 10 Januari 2011, disaat orang sedang sibuk perhelatan ttg jabatan. Ada yang gembira luar biasa, ada yang sedih -kelihatnnya-, ada yang mr. no comment, nah yang terakhir :ada yg bersender di samping kursi satpam, wajah yang penuh keikhlasan, tanpa beban sedikitpun dibenaknya, sepertinya cukuplah secangkir kopi yang setia menemaninya, rasanya dunia milik dia. Dia tak memikirkan betul hiruk-pikuk ttg apa itu eselon, apa itu jabatan. Terlihat betul dari aura wajahnya yang sederhana dan polos. Menikmati betul arti hidup pada hari itu. Sepertinya jabatan bagi dia tak perlu dikejar, justru dia malah takut bila mendapat jabatan. Sepertinya memang aneh, tapi itu adalah pilihan hidup. Suatu pilihan yang kelak harus dipertanggungjawabkannya. lagi iseng nulis, ku lukis itu kisah, kaya kue pukis..hiii.. )

SE-EKOR NYAMUK PUN TERLINDUNGI KASIH SAYANG ALLAH

Suatu malam sy membuka dan membaca al kitab 'Riyaduhsholihiin, Menggapai Surga dengan Rahmat Allah" yang konon sangat penomenal dan kesohor itu buah tangan Ulama Besar Sekh Nawawi. Malam yang sunyi itu entah kenapa ketika asyik membaca, tiba-tiba banyak sekali nyamuk. Tidak seperti biasanya, segerombolan nyamuk dan balatentaranya menyerang dengan membabibuta tanpa henti. Tentu dengan perlawanan sengit sy mencoba untuk membunuhnya. Sayangnya, malam itu tak satupun nyamuk yang berhasil sy eksekusi. Biasanya sekali tepuk, nyamuk langsung tewas terkapar dengan bersimbah darah di tangan sy. Sungguh malam itu nasib nyamuk sangat beruntung. Sy mencoba merenung, ternyata dibawah tangan sy itu tersimpan kitab yang mulia 'Riyadhusholihin'. Sepertinya si empunya penulis itu tidak rela seekor nyamuk pun mati dengan sia-sia, apalagi mati ditangan sy yang masih berlumuran noda dosa. Si empu penulis kitab itu, tak rela menyaksikan kematian se-ekor nyamukpun di depan kitabnya. Entah faktor kebetulan atau tidak, Bab yang dibaca ketika dibuka pun tentang kasih sayang Allah pada hamba-nya dan para mahluknya. Subhanallah....! ini mungkin penomena biasa dan kecil dalam kehidupan sehari-hari, tapi tidak bagi sy. Ini adalah peristiwa penting dalam hidup sy. Se-ekor nyamuk saja, dari sekian banyaknya nyamuk pada malam itu, mendapat lindungan dari Allah SWT. Semoga bermanfaat, walau dari sebuah peristiwa yang kecil menurut kita orang awam. (Serang, Taman krisan, dinihari 11 Januari 2012, ketika hati tertambat pada-Mu, pada kepasrahan hati pada-Mu, kecintaan pada-Mu dan Rasulullah SAW, ketika seorang kekasih berjumpa syahdu dengan kekasihnya yang akbar, yang maha kasih, yang maha sayang. Malam itu sungguh indah)

Rabu, 04 Januari 2012

ARTI MADANIA


Nama “Madania” berasal dari bahasa Arab “madaniah”, satu akar kata dengan Madinah, yang artinya peradaban. Madinah sendiri berarti tempat peradaban, yang juga sering diartikan kota, yaitu suatu tempat yang dihuni oleh masyarakat yang berperadaban, penuh ketaatan, disiplin, dan tunduk-patuh kepada Tuhan. Karena itu, baik “madaniah” maupun “madinah” adalah kata turunan dari kata dasar daana, yadiinu, diinan, yang artinya taat, tunduk, patuh dan pasrah. Madaniah dan madinah juga berasal dari kata dasar madana-yamdunu, madyinah, yang artinya membangun, yakni membangun peradaban.
Dengan semangat makna inilah maka pada 1996 YPMI mendirikan Sekolah Madania. Sekolah Madania adalah sekolah Indonesia yang menghargai perbedaan agama dan pemikiran, serta menghormati individu dengan kebutuhan pembelajaran yang beragam sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang berbeda-beda. Sekolah Madania memberikan kekayaan pengalaman belajar dalam atmosfir kearifan Indonesia yang menghargai spiritualitas, tradisi, nilai-nilai luhur, seni budaya dan sejarah bangsa, dan berstandar internasional serta didukung oleh SDM, program pembelajaran dan fasilitas berkualitas.

INVLI ATAU HoH? (JADIKAN KEKURANGANMU UNTUK MAJU)

Akhirnya saya mengerti mengapa selama ini ada beda pendapat di kalangan tunarungu. Terutama mengenai penggunaan bahasa. Dimana satu sisi ada yang lebih suka berbahasa verbal (berkata-kata), sedangkan di sisi lain lebih suka menggunakan Sign Language.

Hari kamis, akhirnya bisa juga bertemu dengan mba Mitha (Rachmitha Harahap) yang mendirikan yayasan Sehjira (komunitas tunarungu). Bertemu mba Mita biasa saja kok, komunikasi tetap menggunakan bahasa verbal. Karena mba Mitha juga lebih suka berbicara langsung.
Sayang saat itu sedang sepi, selain mba Mitha hanya ada dua orang anggota, yaitu Wiwik dan Nila.

Saat di tanya mba Mitha, Nita ini Ivli atau HOH?
Saya bingung menjawabnya apa. Karena saya juga tak tahu apa itu ivli maupun HOH.
Saat ditanya lagi, apakah masih bisa mendengar suara keras?
Saya jawab iya dan pakai ABD.
ooh berarti Nita HOH.

***

Oh ternyata dalam tunarungu itu dibedakan menjadi dua. Invli dan HOH.

Ivli = Deaf itu gangguan dengar yang tak lagi memiliki sisa suara. Dimana mereka benar-benar tak mendengar suara itu seperti apa. Biasanya yang Ivli ini berkomunikasi dengan Sign Language.

HOH (Hard of Hear) ini masih memiliki sisa suara untuk mendengar. Biasanya memang perlu frekuensi yang keras.Itulah mengapa banyak HOH yang tetap berkomunikasi secara verbal. walau ya kadang mereka mengalami kendala juga.

Mba Mitha mengatakan, kalau di Luar Negri di negara maju memang di bedakan antara ivli dan HOH. Mereka ada komunitasnya sendiri-sendiri. Akan tetapi di Indonesia tidak. 

Dari situlah saya paham, mengapa selama ini ada perbedaan pendapat di kalangan tunarungu baik itu pendidiknya maupun tunarungunya sendiri.
Perbedaan itu tentu saja menyangkut pada penggunaan bahasa. Dimana HOH cendrung berbahasa verbal. Sedangkan Ivli dengan Sign Language.

Untuk saya sendiri yaa tetaplah memilih berbahasa verbal. Oh iya saya kemarin lumayan dapet pelajaran bahasa isyarat seperti untuk mengatakan "lupa","bosan","mengerti","ingat".
 

***

Setiap orangtua pastinya ingin yang terbaik untuk anaknya. Namun memang sebaiknya mengetahui dulu gangguan dengar anaknya. Sehingga tahu apakah anaknya ini Ivli ataupun HOH. Karena yang HOH ada sisa suara yang masih bisa mendengar bisa diajarkan mengenal bahasa verbal serta menggunakan ABD.

Sedang yang Ivli, tak perlu berkecil hati dan bersikeras mengajarkan bahasa verbal. Orangtua bisa menggantinya dengan Sign language.

Semoga para orangtua bisa memahami.


*ditulis sekedar share By: Yusnita F

Senin, 02 Januari 2012

3 ORANG YANG LUCU DAN 3 HAL YANG MEMBUAT MENAGIS

Ada tiga orang yang membuat aku tertawa karena lucu dan ada tiga hal yang membuat aku menangis sedih. Tiga orang yang membuat aku tertawa karena lucu ialah pertama orang yang masih mengangan-angankan dunia padahal ia sedang diburu oleh maut. Kedua orang yang lalai tapi tidak merasa lalai. Ketiga orang yang tertawa lepas namun ia tidak tahu apakah Allah meridhoinya atau murka kepadanya. Sementara ada tiga hal yang membuat aku menangis sedih ialah pertama, berpisah dengan orang-orang tercinta seperti Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Kedua menghadapi huru-hara kematian. Ketiga berdiri di hadapan Allah pada hari semua yang tersembunyi akan terungkap dan aku tidak tahu nasibku ke syurga atau ke neraka " (Sahabat Rasulullah SAW).